Hi… Pada saat posting ini aku publish, tentunya covid-19 atau Omicron virus sudah mereda banget di Indonesia – sesuatu yang bagus. Waktu itu sekitar pertengahan bulan Februari, kacau banget di Ibukota karena Omicron sedang tinggi-tingginya dan tiap hari kasus Omicron terus naik. Dengan naiknya kasus, langkah yang diambil pemerintah pada saat itu masih kurang-lebih sama, mobilitas penduduk tetap ramai khususnya tempat-tempat publik.
Aku baru pertama kali ini kena covid, sebelumnya belum pernah di varian apapun. Dari mana dapatnya? Hm… susah dijawab karena semua kemungkinan besarnya sudah dicoret, orang-orang yang bertemu dengan aku sebelumnya sudah 1-2x tes antigen/PCR dan mereka negatif. Jadi bingung banget kena dimana yang kontaknya erat sama aku, tapi aku baru ingat sepertinya aku kena dari transportasi umum karena aku naik busway sehari-hari.
Di busway, semua pake masker tentu saja. Sayangnya saat omicron, bangku tidak terlalu secara patuh dijaga jarak. Orang kebanyakan pengen duduk dan tidak mau berdiri desak-desakan, jadi duduk-duduk saja di bangku manapun yang kosong. Sisanya? Desak-desakan dong, apalagi untuk busway yang jarang ada busnya. Akhirnya aku give up untuk mencari tahu aku sebenarnya kena dari mana dan deal with it aja.
Aku baru dapat gejala satu hari setelah aku keluar, awalnya tenggorokan agak panas dan sakit. Setelah itu besoknya langsung badan aku panas dan akhirnya demam selama 4 hari. Di hari ketiga suara aku bindeng, tapi engga mengeluarkan ingus, dan tenggorokan aku terus mengeluarkan dahak sementara aku ga batuk-batuk. Kepala dan perut aku juga sakit, kayak habis di pukul gitu rasanya.
Akhirnya ketika demam aku sedikit reda di hari kelima, aku baru test antigen. Hasilnya positif dan besoknya aku tes PCR untuk memastikan, hasilnya juga positif. Sayangnya, karena hasil tes PCR itu keluarnya malam, sudah tidak ada dokter yang jaga di Rumah Sakit khusus penanganan Covid-19, jadi mau tidak mau aku mengandalkan situs online.
Jujur aku agak kecewa dengan aplikasi online. Dokter dan ratingnya bagus, ada yang 4.9 dan 5, tapi sama saja, obat yang dikasih benar-benar gila. Saat itu aku di kasih seluruh obat covid baik yang perlu dan tidak perlu, karena pada saat itu aku sebenarnya sudah tidak demam, tapi tetap di kasih obatnya. Juga kita tidak bisa membeli hanya beberapa obat saja, harus semua dari resep dokter. Katanya bisa dapat obat gratis dari Kemenkes, tapi ternyata juga sama saja… kita harus terdaftar untuk Isoman mandiri tapi data aku sudah 3 hari tidak terdaftar katanya.
Mana aku anak kost-an. Semua serba susah dan tidak punya untuk diri sendiri. Untung aku ada dapur, bisa masak air, tapi juga tidak enak dengan teman kos kalau aku pakai alat-alatnya karena aku sedang sakit. Mau berjemur susah juga karena kos an… susah sekali cari kos yang bisa dapat sinar matahari kan? Apalagi di daerah ibukota yang sumpek begini. Mau masak juga tidak bisa, mau tidak mau aku harus go-food terus untuk bisa beli sayur agar dapat nutrisi yang baik.
Jadi mau tidak mau akhirnya tebus obat dengan uang pribadi karena aku pikir akan berguna untuk cepat sembuh dan habis sekitar 800 ribu. Obat makannya juga gila, ada hampir semuanya 3x sehari dan bahkan ada yang 4. Aku sehari bisa makan obat banyak sekali sampai mulut aku rasanya kering banget. Ketika aku sudah merasa enakan, aku berhenti minum obatnya dan hanya minum vitamin D saja, sisanya tidak aku minum.
Aku pikir masalahnya selesai sampai disitu saja dengan covid… eh ternyata tidak. Setelah hampir isoman 2 minggu, aku tes PCR 2x dan hasilnya masih positif. CT aku juga rendah, di bawah 36, saat konsultasi ke dokter di rumah sakit, dianjurkan untuk isoman lagi satu minggu dan ambil tes lagi. Aku protes, kata pemerintah isoman mandiri cukup “13 hari saja dan aku harus kerja saat itu. Akhirnya dokternya bilang, sebenarnya tidak ada keharusan untuk setelah isoman harus ambil tes dan harus dapatkan tes negatif… karena alat tes tidak bisa deteksi virus yang mati dan yang hidup. Cukup lega, tapi kesal juga, kalau begitu kan harusnya aku tidak usah ya tes sampi 2x. Mana mahal lagi …
Dengan pengalaman ini aku jadi sadar tapi… hidup sehat itu perlu, senormalnya saja seperti makan buah setiap hari, kena matahari, olahraga 40 menit dan hidup bersih. Tetapi hal ini juga agak sulit dijaga kalau orang-orang di sekitar kita engga hidup bersih, karen virus engga tunggu-tunggu untuk nyerang kita. Mereka kalau mau serang, nyebar, pindah, ya pindah aja! Karena itu teman-teman, jaga kesehatan ya.